Selain menjadi media komunikasi untuk berbagai zaman, Bahasa Rupa juga merupakan bahasa yang dipakai anak-anak untuk bercerita dan mengembangkan cerita. Bahasa ini dapat mendukung tumbuh kembang anak dan selayaknya tidak dipisahkan dari perkembangan skill anak. Bagaimana bisa begitu?
Bahasa Rupa pada Gambar Anak
Teori Bahasa Rupa mengemukakan tentang salah satu jenis karya visual, yakni Ruang-Waktu-Datar, atau sering disingkat dengan “RWD.” Jenis karya ini sering digunakan pada visual budaya timur dan karya visual anak-anak. RWD tidak mengenal perspektif, tapi di dalamnya tetap tergambar jarak (ruang) dan momentum (waktu) yang terjadi. Contohnya, pada gambar “melambaikan tangan”, tangan digambar jadi banyak. Artinya bukan bertangan banyak, tapi arah dan proses gerakan tangan dari satu titik ke titik yang lain. Istilah ini kita sebut dengan “imaji jamak”.
Selain Imaji Jamak, juga ada cara gambar “sinar X” untuk menceritakan isi, dan bagian yang diperbesar untuk menyatakan pentingnya bagian tersebut dari cerita yang disampaikan.
Gambar Bercerita vs Cerita Bergambar
Cerita bergambar adalah kisah yang diceritakan dengan gambar yang menerangkan teks tertulis, sedangkan gambar bercerita adalah gambar yang bisa diceritakan walaupun tanpa melihat teks dan menggunakan ilmu Bahasa Rupa di dalamnya. Pada cerita bergambar, teks adalah tokoh utama, sedangkan dalam gambar bercerita, gambar yang menjadi tokoh utamanya. Pada cerita bergambar, ilustrasi hanya menjelaskan teks, sehingga anak pasif ketika melihat gambar karena cerita sudah tertuang dalam teks dan ilustrasinya bersifat statis, satu kejadian diam yang terjadi pada titik tertentu.
Lain halnya dengan gambar bercerita, yang keterangan tulisannya hanya sedikit namun ilustrasinya sangat dinamis dan “berbicara” banyak (dengan metode imaji jamak, sinar x, perbesaran, dsb). Gambar bercerita memiliki sekuen dalam peristiwa yang sedang berlangsung, sehingga anak dapat melihat detail kejadian satu persatu (misalnya : seperti apa seseorang tergelincir). Ketika anak menuturkan gambar, ia dapat bercerita lebih banyak daripada keterangan yang tertulis. Dalam hal ini, bahasa rupa mengundang anak untuk terlibat aktif dan berinteraksi dengan gambar.
Dalam proses perkembangan anak, gambar bercerita dapat menjadi stimulan yang baik, karena anak melalui dua proses utama : menatap gambar dan menggambar.
Menatap Gambar Dasar Membaca
Ketika anak menatap gambar bercerita, ia tidak sekadar membaca teks dan melihat gambarnya, tetapi ia juga membayangkan kejadian yang terjadi. Semakin banyak stimulan gambarnya, semakin luas imajinasinya. Proses pertama dalam menatap gambar bercerita adalah memahami pesan gambarnya, setelah itu ia baru belajar cara membacanya.
Menggambar Dasar Menulis
Cara anak menggambar tidak pernah natural. Ia selalu berinovasi dalam menggambarkan apa yang dilihat dan dipahaminya. Ia menggambar dengan metode RWD yang lebih mudah untuk menjadi media berceritanya. Setelah menggambar, ia bercerita. Dengan itu, secara tidak langsung ia belajar menulis, dan membaca apa yang dituliskannya.
Pembinaan Kreativitas Sejak Dini
Pada pendidikan formal kini di Indonesia, pembinaan kreativitas anak masih jauh dari ideal, masih sekadar mengajarkan “keindahan” di kelas-kelas menggambar dan kerajinan, tetapi bukan kreativitas. Sehingga, konteks “kreativitas” terbatas pada bakat seni seseorang saja. Padahal, pembinaan kreativitas yang baik akan melahirkan generasi inovator dengan ide-ide yang cemerlang, karena optimalisasi berpikir anak terlatih sejak dini.
Namun, tak usah putus asa, karena pendidikan paling dominan justru terjadi di rumah. Jangan lupa untuk selalu berkelanjutan dan menyeluruh dalam membina kreativitas. Ajari correctness untuk mengasah logika, fitness untuk keterampilan fisik, dan goodness untuk pengembangan imajinasinya. Motivasi anak untuk tidak masalah jika gambarnya berbeda, karena di dalamnya ada cerita yang diterjemahkannya dalam bahasa rupa versinya sendiri.